Info Sekolah
Rabu, 08 Okt 2025
  • Selamat Datang di MTs. Hasan Kafrawi.
  • Selamat Datang di MTs. Hasan Kafrawi.
6 Agustus 2025

Pendidikan yang Memerdekakan: Sebuah Refleksi Filosofis

Rab, 6 Agustus 2025 Dibaca 25x

Dalam riuh rendahnya perdebatan tentang kurikulum, metode pengajaran, dan hasil ujian, kita sering lupa esensi terdalam dari pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan hanya sekadar transfer pengetahuan dari guru ke siswa? Atau, apakah pendidikan adalah jalan untuk menemukan hakikat diri dan membebaskan potensi manusia yang sejati? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada refleksi filosofis tentang konsep pendidikan yang memerdekakan.

Konsep ini bukanlah hal baru. Jauh sebelum era modern, para filsuf telah merenungkan makna kebebasan dalam belajar. Socrates, dengan metode maieutikanya, mengajak para murid untuk “melahirkan” pengetahuan dari dalam diri mereka sendiri, bukan menerimanya secara pasif. Pendidikan, baginya, adalah dialog yang membimbing seseorang untuk berpikir kritis, meragukan asumsi, dan akhirnya menemukan kebenaran yang mandiri. Ini adalah kebebasan intelektual yang pertama dan terpenting.

Selanjutnya, kita dapat melihat pandangan Immanuel Kant yang menekankan pentingnya kemandirian rasional. Bagi Kant, pendidikan harus membentuk individu yang mampu menggunakan akal sehatnya sendiri, tanpa bimbingan orang lain. Pendidikan harus menjadi alat untuk keluar dari “ketidakdewasaan” atau immaturitas yang disebabkan oleh ketidakmampuan berpikir mandiri. Pendidikan yang memerdekakan, dalam pandangan ini, adalah proses di mana individu diajarkan untuk menjadi subjek, bukan objek, dari pengetahuan. Mereka tidak hanya menghafal, tetapi juga menganalisis, mensintesis, dan menciptakan gagasan baru.

Namun, kebebasan dalam pendidikan tidak hanya berhenti pada ranah intelektual. Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brasil, membawa konsep ini ke dimensi sosial dan politis. Melalui bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire mengkritik model pendidikan “gaya bank” di mana guru hanya menabung informasi ke dalam pikiran siswa yang dianggap kosong. Model ini, menurutnya, justru melanggengkan penindasan dan membunuh kesadaran kritis. Pendidikan yang memerdekakan, sebaliknya, adalah pendidikan yang berlandaskan dialog dan praksis. Dialog antara guru dan siswa terjadi sebagai rekan sejajar, di mana keduanya belajar satu sama lain. Praksis adalah tindakan reflektif yang mengubah realitas sosial. Dengan demikian, pendidikan menjadi alat untuk membebaskan diri dari belenggu struktural dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Pada akhirnya, pendidikan yang memerdekakan adalah sebuah ideal yang menuntut kita untuk meninjau kembali fondasi sistem pendidikan kita. Apakah kurikulum kita dirancang untuk mendorong pemikiran kritis atau hanya untuk mencetak pekerja? Apakah metode pengajaran kita menumbuhkan rasa ingin tahu atau hanya menghasilkan robot-robot penghafal? Apakah kita benar-benar memberdayakan siswa untuk menjadi subjek yang mandiri, atau justru tanpa sadar membatasi kebebasan mereka?

Pendidikan yang memerdekakan adalah janji untuk membentuk individu yang utuh: yang mampu berpikir, yang berani bertindak, dan yang peduli pada sesama. Ini adalah janji bahwa sekolah bukan sekadar tempat untuk mendapatkan ijazah, melainkan tempat di mana jiwa manusia dapat berkembang, terbang, dan akhirnya menemukan makna kebebasan yang sejati. Ini adalah tugas mulia kita semua, para pendidik, orang tua, dan masyarakat, untuk mewujudkan janji tersebut.

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.